. . . . .

Rabu, 30 Mei 2012

PERDAGANGAN BEBAS DAN LIBERALISASI POLITIK DI INDONESIA


              Globalisasi adalah merupakan sebuah konsep yang menjadi wacana sentral dalam disiplin ilmu-ilmu social saat ini, adalah proses kepercayaan yang ditandai dengan adanya kecenderungan wilayah-wilayah di dunia, baik secara geografis maupun fisik, menjadi seragam dalam format social, budaya, ekonomi, dan politik. Dikarenakan semakin kaburnya batas-batas dan perbedaan antar negara di dunia, maka ini dalam kehidupan social proses global telah menciptakan egalitarianism, di bidang budaya memicu munculnya “internationalizations of culture”, di bidang ekonomi menciptakan saling ketergantungan dalam proses produksi dan pemasaran, dan di bidang politik menciptakan “liberalisasi”. Globalisasi sudah terjadi sejak berabad-abad lalu, dan masih terjadi sampai sekarang proses global tersebut, dan memiliki kecepatan, kekuatan dan cakupan yang luar biasa. Globalisasi sendiri buakanlah sebuah proses yang singkat, namun merupakan proses yang lounge durre yaitu proses yang lama dan bertahap.


        Salah satu bukti nyata dan dapat diketahui secara langsung terlihat dalam era global adalah meningkatnya integritas ekonomi antar negara-negara di dunia, baik antara negara berkembang, Negara maju, dan keduanya. Globalisasi diwarnai dengan ekspansi pasar, yang dalam bentuk kongkret berupa penyelenggaraan pasar-pasar bersama regional. Proses perluasan pasar di seluruh penjuru dunia tersebut merupakan sebuah rekayasa social dengan skala luas, yang belum pernah terbayangkan sebelumnya, dengan menggunakan berbagai instrument seperti ilmu pengetahuan, teknologi, institusi social, politik dan kebudayaan.

            Banyak Negara di Eropa Timur yang merubah kebijakan ekonominya dari sosialis ke orientasi pasar. Hal ini membuktikan bahwa integritas pasar melalui perdagangan bebas cenderung memiliki berbagai dampak konsekuensi social politik. Wallerstein secara jitu telah mendemonstrasikan bagaiman ekspansi pasar dan keberhasilan Modern World System merupakan sebuah potret dari globalisasi. Tetapi berbagai bentuk integrasi pasar regional yang oleh Wallerstein di klasifikasikan dalam wilayah pusat, semi pinggiran, dan pinggiran akan memiliki variasi karakteristik dalam konteks perkembangan ekonomi global. Spesifikasi social politik yang muncul di Indonesia ketika perdagangan bebas melanda dunia relevan untuk dikedepankan.
            Pembahasan ini lebih kepada hubungan antara perdagangan bebas dan liberalisasi politik di Indonesia. Hubungan tersebut didasarkan pada argument bahwa ada keyakinan teoritik, bahwa perdagangan bebas, baik secara lambat maupun cepat, akan membawa dampak pada liberalisasi politik.

Perdagangan Bebas dan Liberalisasi Publik
           
Bila kita melihat pada teori-teori ekonomi yang bersifat mainstream maka seakan-akan hanya ada dua sistem ekonomi di dunia ini, yaitu sistem ekonomi yang didominasi oleh kekuatan pasar versus negara. Pandangan ekonomi tersebut lebih membatasi diri pada masalah ekonomi an sich daripada mengaitkan dengan berbagai persoalan sosial, budaya, dan politik. Sehingga untuk memahami perbedaan system pemerintahan antarnegara-negara cenderung direduksi dalam pandangan ekonosentrik. Lindblom, mengakui adanya keterbatasan dalam analisis ekonomi, khususnya neo-klasik. Cara pandang neo-klasik tidak realistik dan hanya ada dalam model pikir, sehingga bila diterapkan akan mencabut kenyataan ekonomi dari realitas sosial, sedang kenyataannya adalah ekonomi dan sosial-budaya saling jalin-menjalin.

            Menurut pendapat beberapa pengamat sosial-ekonomi memiliki keyakinan bahwa ekonomi pasar memiliki kemampuan dalam menciptakan demokrasi politik, sehingga ekonomi pasar merupakan prasyarat dalam mewujudkan demokrasi politik. Pertumbuhan perdagangan dan integrasi pasar akan menimbulkan tekanan-tekanan pada negara untuk menyelenggarakan system politik yang plural, sehingga akan membawa perkembangan arus informasi, gagasan, dan pandangan. Dalam system social-ekonomi seperti itu, mekanisme pasar diandaikan sebagai parlemen. Semua pelaku ekonomi bersifat voluntir dan tidak ada tekanan politis sehingga kepentingan-kepentingan yang berbeda dapat mencapai keserasian lewat terwujudnya setting price.

Salah satu pandangan yang anti determinan ekonomi pasar menyatakan bawa justru dengan dominannya pasar maka masyarakat terancam disintregasi. Oleh karena itu dibutuhkan kewenangan politik, alam hal ini peran negara yang kuat, untuk memantau, mengatur dan mengontrol mekanisme pasar sehingga arus barang dan kepentigan dapat menciptakan kesejateraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam mengatur dan menjaga pasar agar tetap stabil dan tidak terlalu mengancam keberlangsungan industri masyarakat dan kalangan modal rendah. Perdaganan bebas akan mengakibatkan kenaikan import barang dari negara lain yang lebih murah dan berkualitas daripada di dalam negeri. Selain dari pada itu pemerintah yang kuat  juga merupakan salah satu syarat pentng dalam terciptana pasar bebas, keadaan politik dan keamanan yang kondusif merupakan penjamin bagi pada investor untuk mau menanamkan modalnya serta menjamin pertumbuhan industri di negara itu. Memahami persoalan pluralitas politik dengan hanya mempertimbangkan dua aspek yaitu variabel negara dan dan pasar menyebabkan pendekatan itu kurang memiliki sofistikasi ilmiah dan mereduksi kompleksitas realitas dalam cara pandang yang terlalu sederhana.

Pandangan lain menegaskan bahwa untuk mewujudkan pluralistas politik dan demokrasi sosial bukan negara atau ekonomi pasar yang menjadi prasyaratnya tetapi kelas menengah yang harus tampil ke depan. Kelas menengah ini merupakan para kumpulan orang-orang yang kritis dan resah akan suatu keadaan yang sedang berlangsung, bila suara ini dapat ditampung dan ditindaklanjuti dalam parlemen dan dilaksanakan oleh pemerintah maka akan berdampak besar. Dampak positif dari keberadaan kelas menengah adalah terciptanya tensi politk dalam masyarakat dan ini merupakan kekuatan kontrol agar negar tidak berbuat semena-mena dan pasar tidak semata-mata memberikan keuntungan ekonom-politik kepada kaum pemilik alat-alat produksi. Melalui pengamatan empiris diadapatkan hasil pada beberapa negara termasuk Indonesia, didapatkan hasil bahwa konsep ini terancam gagal atau malah gagal sama sekali. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan dan pemanfaatan dari golongan menengah ini sendiri, kita sering melihat suatu golongan dan mendefinisikan golongan itu dari segi tingkatan ekonomid dan sosialnya, bukan dari peranan dan kekuatan politiknya.

Kegagalan pendekatan diatas memunculkan pemikiran dari para kelompok-kelompok tertentu yang meliat dan mempelajari dari konsep Marx dan status / otoritas sosial Weber sehingga relevan untuk memahami realitas ekonomi politik di Asia Tenggara, pendekatan ini dinamakan “pendekatan kelompok strategis”. Pendekatan ini melihat pada realita bahwa dinamika yang terjadi di kalangan kelompok tertentu entah itu menengah ataupun bawah tidak banyak berpengaruh karena perjuangan kelas tidak pernah terjadi karena konflik yang terjadi lebih sering bahkan selalu di tingkat elit. Merekalah kaum elit itu yang disebut sebagai sebagai kaum strategis yang siap megambil alih seua sumer daya ekonomi dan kekuasaan di saat terjadi goncangan politik. Dengan demikian maka liberalisasi politik akan tercapai bukan dari peranan pasar, negara, atau kelas menengah tetapi semua tergantung dari permainan politik dari kelompok-kelompok strategis tersebut. Dialektika dari keempat pemikiran diatas merupaka refleksi dari rumitnya jalinan masalah-masalah ekonomi dengan masalah politik.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar