. . . . .

Minggu, 03 Juni 2012

EKONOMI DAN SUMBERDAYA ALAM BERSAMA (Common Property Regime)




Secara umum pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan tingkat hidup dan menaikkan mutu hidup rakyat. Mutu hidup dapat diartikan sebagai derajat dipenuhinya kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar esensial untuk kehidupan kita ini terdiri atas tiga bagian, yaitu:

1) kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup hayati
2) kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup manusiawi
3) derajat kebebasan untuk memilih. 

Aktivitas pembngunan ekonomi cenderung terfokus pada pengeksploitasian sumberdaya alam untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat tanpa melakukan tindakan nyata dalam melakukan konservasi terhadap bahan baku ini. Edger Owen mengatakan bahwa pembangunan telah diperlakukan oleh para ekonom tidak lebih sebagai ajang percobaan ilmu ekonomi, tanpa mengkaitkannya dengan gagasan-gagasan politik, bentuk-bentuk pemerintahan dan peranan orang-orang di masyarakat. Lanjutnya, sudah waktunya kita menggabungkan teori-teori politik dan ekonomi untuk memahami berbagai hal yang lebih uas dari sekadar membuat masyarakat lebih produktif, misalnya, bagaimana membuat kualitas hidup secara keseluruhan masyarakat itu menjadi lebih baik, pembangunan manusia lebih penting dari pada pembangunan benda-benda mati.

Dalam kita menggunakan sumber daya alam tersebut ternyata secara tidak kita sadari orang lain juga menggunakan dan mempunyai akses yang sama terhadap sumber daya alam tersebut. Jadi secara singkat Common Property Regime di sini adalah semua sumber daya alam yang digunakan oleh orang banyak dan berifat open source  dimana setiap orang berhak untuk menggunakannya untuk menjamin kelangsungan kesediaan kebutuhan alat pemuas kebutuhan. Ia sering kali bersifat terbuka, di mana semua orang bebas memanfaatkannya atau open access dimana alam bersifat tidak bertuan dan seakan-akan tidak dapat habis. Akibat dari open access itu, setiap individu yang memanfaatkan sumber daya tersebut cenderung meng­ek­sploitasinya semaksimal mung­kin tanpa memperdulikan akibat terhadap kelastarianya atau pengaruhnya pada hak orang lain, alasannya jika ia ti­dak melakukan hal itu , maka tentu orang lain yang akan melakukannya. Di lain sisi, masing-masing individu enggan memelihara kelestarian sumber daya tersebut dengan alasan percuma dia menjaga kelestarian kalau orang lain tidak ataupun sebaliknya, bahkan sebaliknya mengeksploitasinya habis-habisan untuk keuntungan dirinya. Permasalahan utama yang sering muncul adalah karena ma­sing-masing individu berpikiran yang sama, akibatnya fatal, yakni kehancuran sumber daya milik bersama tersebut. Inilah yang disebut oleh Hardin sebagai the tragedy of the commons atau tragedi milik bersama.

Elinor Ostrom merupakan salah seorang ahli yang dinobatkan sebagai salah seorang pemenang hadiah Nobel di bidang ekonomi. Keber­hasilan Ostrom meraih hadiah Nobel itu sangat erat kaitannya dengan masalah pengelolaan sumber daya milik bersama yang dia teliti dan kembangkan. Pada intinya, Ostrom menunjukkan bahwa kepemilikan bersama itu tidak harus berakhir dengan tragedi seperti yang digambarkan oleh Hardin dimana saat suatu sumber daya tidak diambil alih oleh pemerintah atau dikuasai oleh pemerintah maka akan dapat berakibat rusaknya sumber daya tersebut atau tragedy of the common. Ostrom berpendapat bahwa suatu komu­nitas yang memanfaatkan sua­tu sumber daya secara ber­sa­ma bisa bersepakat untuk me­nge­lolanya dengan baik. Me­re­ka bisa membangun kon­sen­sus, sa­ling mengawasi, serta saling mem­beri sanksi atas pe­lang­garan oleh sesama anggota. Dengan demikian, solusi terhadap persoalan the tragedy of the commons itu tidak mesti privatisasi (dalam arti dija­dikan milik individu atau pe­ngusaha) ataupun penerapan sis­tem pajak oleh negara. Ko­mu­nitas yang memanfaatkan sumber daya secara bersama bi­sa diandalkan dan diberi tang­gung jawab penuh untuk mengelola sumber daya tersebut.  Ini yang lazim disebut com­munity-based resource management atau manajement sumber daya komunitas. Menurut John Friedmann (1998), ”It is empirically verifiable phenomenon that people wish to protect the environment on which they depend for their life and livelihood”. Penge­lo­laan oleh masyarakat itu sen­diri bahkan bisa lebih efektif dan efisien; biaya penga­was­an­nya lebih murah.

Karena hampir seluruh penggunaan sumberdaya alam itu diperantarai oleh perusahaan, maka perusahaan harus mengganti cara mereka berproduksi menjadi lebih ramah lingkungan. Secara ekonomi, sebetulnya dorongan untuk berhemat energi sudah timbul, karena itu artinya mengurangi biaya produksi. Namun, kalau kebanyakan perusahaan tidak melakukan penghematan dan tidak berganti ke teknologi yang lebih ramah lingkungan, maka tekanan ekonomi juga tidak terlalu terasa. Kalau konsumen tidak memberikan preferensinya kepada perusahaan yang lebih ramah lingkungan serta menghukum mereka yang jahat kepada lingkungan, maka insentif ekonomi bagi perusahaan-perusahaan juga tidak akan berkembang menuju perbaikan lingkungan hidup. Bagaimanapun, perusahaan merupakan cerminan dari preferensipreferensi konsumennya, walau perusahaan juga berupaya untuk membentuk selera konsumen mereka.

Dalam artikelnya berjudul Sustainability Development and the Reinven-tion of Nature, Subhabrata Bobby Banerjee (1999) menyatakan bahwa pem-bangunan yang terjadi di negara-negara berkembang ternyata lebih mem-prioritaskan kepada pembangunan kinerja ekonomi dan mengabaikan penanganan terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan seperti pengangguran, kemiskinan, kerusakan lingkungan dan buruknya akses informasi yang dimiliki oleh warga masyarakat. Lebih jauh juga terlihat adanya ketergantungan dari negara berkembang kepada negara maju mengakibatkan negara berkembang “rela” memberikan aset yang dimiliki-nya sebagai bagian dari “perjanjian” kerjasama dengan negara maju. Ter-kait dengan hal ini, tanggapan atas artikel Banerjee ini akan mencakup tiga hal, yaitu pertama; lingkungan sebagai dampak dari proses pembangunan berkelanjutan, kedua; adaptasi teknologi yang terkait dengan lingkungan, dan ketiga; penemuan “kembali” alam sebagai implikasi logis dari majunya peradaban umat manusia.

Rusaknya lingkungan karena pengaruh akumulasi kapital ternyata memang memiliki asumsi dasar yang kuat. Banerjee yang telah menyitir hingga 70 defenisi tentang pembangunan berkelanjutan, kemudian tetap memilih definisi dari Bruntland (1987) yang menyatakan bahwa pemba-ngunan berkelanjutan merupakan sebuah proses perubahan yang “memang” mengeksploitasi sumberdaya, kebutuhan akan investasi lang-sung, berorientasi pada pembangunan teknologi dan perubahan fungsi-fungsi kelembagaan. Dalam proses tersebut, diharapkan selanjut-nya adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan ling-kungan secara menyeluruh. Sehingga terdapat korelasi yang positif antara pemba-ngunan berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi dan perbaikan ling-kungan. Dengan kata lain Bruntland menyatakan bahwa untuk mendapat-kan kinerja ekonomi yang mapan, alam dan lingkungan memang harus di-eksploitasi, dan dengan hal itu maka harapan akan kesejahteraan masya-rakat memang bisa terwujud. Namun, pendapat tersebut nampaknya harus dikaji lagi, karena eksploitasi yang berlebihan terhadap lingkungan ternyata bukan saja memberikan sisi negatif bagi lingkungan itu sendiri namun juga memberikan beban berlebihan bagi keuangan negara.

Lingkungan hidup yang di dalamnya terdapat sumberdaya alam yang punya kemampuan untuk memulihkan diri sediri (recovery). Namun upaya pemulihan diri sendiri ini akan berarti jika laju tekanan aktifitas manusia lebih lambat dari pada laju pemulihan sumberdaya alam. Tapi dengan kondisi jumlah penduduk yang tidak sebanding lagi dengan ketersediaan sumber daya alam cenderung tidak dapat memperlambat laju tekanan akibat aktifitasnya terhadap SDA dan lingkungan hidup sehingga cenderung keduanya dikorbankan. Tindakan ini tentunya akan membuat bumi ini semakin terpuruk masuk kedalam suatu “bencana lingkungan (ecocatastrophe)” yang bersifat global. Hal ini merupakan beban sosial karena pada akhirnya akan ditanggung seluruh lapisan masyarakat dan pemerintahkan. Pergeseran paradigma pengelolaan ekonomi, sumberdaya alam dan lingkungan di mana ketiga hal ini dimasukkan di dalam suatu sistem bersama. Dalam hani ini lingkungan hidup dipandang sebagai aset utama di dalam proses ekonomi. Lingkungan menyediakan sistem pendukung kehidupan untuk mempertahankan keberadaan umat manusia. Usaa untuk mengatasi proses depresiasi dari aset lingkungan bukan hanya untuk kepentingan konservasi dan pelestarian lingkungan tetapi untuk kepentingan aktivitas ekonomi jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan manusia baik dari generasi sekarang maupun yang akan datang (inter generation).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar