Secara umum pembangunan ekonomi bertujuan untuk
meningkatkan tingkat hidup dan menaikkan mutu hidup rakyat. Mutu hidup dapat
diartikan sebagai derajat dipenuhinya kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar esensial
untuk kehidupan kita ini terdiri atas tiga bagian, yaitu:
1) kebutuhan dasar
untuk kelangsungan hidup hayati
2) kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup
manusiawi
3) derajat kebebasan untuk memilih.
Aktivitas pembngunan ekonomi
cenderung terfokus pada pengeksploitasian sumberdaya alam untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat tanpa melakukan tindakan nyata dalam melakukan
konservasi terhadap bahan baku ini. Edger Owen mengatakan bahwa pembangunan telah
diperlakukan oleh para ekonom tidak lebih sebagai ajang percobaan ilmu ekonomi,
tanpa mengkaitkannya dengan gagasan-gagasan politik, bentuk-bentuk pemerintahan
dan peranan orang-orang di masyarakat. Lanjutnya, sudah waktunya kita
menggabungkan teori-teori politik dan ekonomi untuk memahami berbagai hal yang
lebih uas dari sekadar membuat masyarakat lebih produktif, misalnya, bagaimana
membuat kualitas hidup secara keseluruhan masyarakat itu menjadi lebih baik,
pembangunan manusia lebih penting dari pada pembangunan benda-benda mati.
Dalam
kita menggunakan sumber daya alam tersebut ternyata secara tidak kita sadari
orang lain juga menggunakan dan mempunyai akses yang sama terhadap sumber daya
alam tersebut. Jadi secara singkat Common
Property Regime di sini adalah semua sumber daya alam yang digunakan oleh
orang banyak dan berifat open source dimana setiap orang berhak untuk
menggunakannya untuk menjamin kelangsungan kesediaan kebutuhan alat pemuas
kebutuhan. Ia sering kali bersifat terbuka, di mana semua orang bebas
memanfaatkannya atau open access dimana
alam bersifat tidak bertuan dan seakan-akan tidak dapat habis. Akibat dari open
access itu, setiap individu yang memanfaatkan sumber daya tersebut cenderung
mengeksploitasinya semaksimal mungkin tanpa memperdulikan akibat terhadap
kelastarianya atau pengaruhnya pada hak orang lain, alasannya jika ia tidak
melakukan hal itu , maka tentu orang lain yang akan melakukannya. Di lain sisi,
masing-masing individu enggan memelihara kelestarian sumber daya tersebut
dengan alasan percuma dia menjaga kelestarian kalau orang lain tidak ataupun
sebaliknya, bahkan sebaliknya mengeksploitasinya habis-habisan untuk keuntungan
dirinya. Permasalahan utama yang sering muncul adalah karena masing-masing
individu berpikiran yang sama, akibatnya fatal, yakni kehancuran sumber daya
milik bersama tersebut. Inilah yang disebut oleh Hardin sebagai the tragedy of the commons atau tragedi
milik bersama.
Elinor
Ostrom merupakan salah seorang ahli yang dinobatkan sebagai salah seorang
pemenang hadiah Nobel di bidang ekonomi. Keberhasilan Ostrom meraih hadiah
Nobel itu sangat erat kaitannya dengan masalah pengelolaan sumber daya milik
bersama yang dia teliti dan kembangkan. Pada intinya, Ostrom menunjukkan bahwa
kepemilikan bersama itu tidak harus berakhir dengan tragedi seperti yang
digambarkan oleh Hardin dimana saat suatu sumber daya tidak diambil alih oleh
pemerintah atau dikuasai oleh pemerintah maka akan dapat berakibat rusaknya
sumber daya tersebut atau tragedy of the
common. Ostrom berpendapat bahwa suatu komunitas yang memanfaatkan suatu
sumber daya secara bersama bisa bersepakat untuk mengelolanya dengan baik.
Mereka bisa membangun konsensus, saling mengawasi, serta saling memberi
sanksi atas pelanggaran oleh sesama anggota. Dengan demikian, solusi terhadap
persoalan the tragedy of the commons
itu tidak mesti privatisasi (dalam arti dijadikan milik individu atau pengusaha)
ataupun penerapan sistem pajak oleh negara. Komunitas yang memanfaatkan
sumber daya secara bersama bisa diandalkan dan diberi tanggung jawab penuh
untuk mengelola sumber daya tersebut. Ini yang lazim disebut community-based resource management
atau manajement sumber daya komunitas. Menurut John Friedmann (1998), ”It is
empirically verifiable phenomenon that people wish to protect the environment
on which they depend for their life and livelihood”. Pengelolaan oleh
masyarakat itu sendiri bahkan bisa lebih efektif dan efisien; biaya pengawasannya
lebih murah.
Karena
hampir seluruh penggunaan sumberdaya alam itu diperantarai oleh perusahaan,
maka perusahaan harus mengganti cara mereka berproduksi menjadi lebih ramah
lingkungan. Secara ekonomi, sebetulnya dorongan untuk berhemat energi sudah
timbul, karena itu artinya mengurangi biaya produksi. Namun, kalau kebanyakan
perusahaan tidak melakukan penghematan dan tidak berganti ke teknologi yang lebih
ramah lingkungan, maka tekanan ekonomi juga tidak terlalu terasa. Kalau
konsumen tidak memberikan preferensinya kepada perusahaan yang lebih ramah
lingkungan serta menghukum mereka yang jahat kepada lingkungan, maka insentif
ekonomi bagi perusahaan-perusahaan juga tidak akan berkembang menuju perbaikan
lingkungan hidup. Bagaimanapun, perusahaan merupakan cerminan dari preferensi‐preferensi konsumennya, walau
perusahaan juga berupaya untuk membentuk selera konsumen mereka.
Dalam artikelnya berjudul Sustainability Development
and the Reinven-tion of Nature, Subhabrata Bobby Banerjee (1999) menyatakan
bahwa pem-bangunan yang terjadi di negara-negara berkembang ternyata lebih
mem-prioritaskan kepada pembangunan kinerja ekonomi dan mengabaikan penanganan
terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan seperti pengangguran,
kemiskinan, kerusakan lingkungan dan buruknya akses informasi yang dimiliki
oleh warga masyarakat. Lebih jauh juga terlihat adanya ketergantungan dari
negara berkembang kepada negara maju mengakibatkan negara berkembang “rela”
memberikan aset yang dimiliki-nya sebagai bagian dari “perjanjian” kerjasama
dengan negara maju. Ter-kait dengan hal ini, tanggapan atas artikel Banerjee
ini akan mencakup tiga hal, yaitu pertama; lingkungan sebagai dampak
dari proses pembangunan berkelanjutan, kedua; adaptasi teknologi yang
terkait dengan lingkungan, dan ketiga; penemuan “kembali” alam sebagai
implikasi logis dari majunya peradaban umat manusia.
Rusaknya lingkungan karena pengaruh akumulasi kapital ternyata
memang memiliki asumsi dasar yang kuat. Banerjee yang telah menyitir hingga 70
defenisi tentang pembangunan berkelanjutan, kemudian tetap memilih definisi
dari Bruntland (1987) yang menyatakan bahwa pemba-ngunan berkelanjutan
merupakan sebuah proses perubahan yang “memang” mengeksploitasi sumberdaya,
kebutuhan akan investasi lang-sung, berorientasi pada pembangunan teknologi dan
perubahan fungsi-fungsi kelembagaan. Dalam proses tersebut, diharapkan
selanjut-nya adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan ling-kungan
secara menyeluruh. Sehingga terdapat korelasi yang positif antara pemba-ngunan
berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi dan perbaikan ling-kungan. Dengan kata lain
Bruntland menyatakan bahwa untuk mendapat-kan kinerja ekonomi yang mapan, alam
dan lingkungan memang harus di-eksploitasi, dan dengan hal itu maka harapan
akan kesejahteraan masya-rakat memang bisa terwujud. Namun, pendapat tersebut
nampaknya harus dikaji lagi, karena eksploitasi yang berlebihan terhadap
lingkungan ternyata bukan saja memberikan sisi negatif bagi lingkungan itu
sendiri namun juga memberikan beban berlebihan bagi keuangan negara.
Lingkungan hidup yang di dalamnya terdapat sumberdaya alam yang punya
kemampuan untuk memulihkan diri sediri (recovery).
Namun upaya pemulihan diri sendiri ini akan berarti jika laju tekanan aktifitas
manusia lebih lambat dari pada laju pemulihan sumberdaya alam. Tapi dengan
kondisi jumlah penduduk yang tidak sebanding lagi dengan ketersediaan sumber
daya alam cenderung tidak dapat memperlambat laju tekanan akibat
aktifitasnya terhadap SDA dan lingkungan hidup sehingga cenderung keduanya
dikorbankan. Tindakan ini tentunya akan membuat bumi ini semakin terpuruk masuk
kedalam suatu “bencana lingkungan (ecocatastrophe)”
yang bersifat global. Hal ini merupakan beban sosial karena pada akhirnya akan
ditanggung seluruh lapisan masyarakat dan pemerintahkan. Pergeseran paradigma pengelolaan ekonomi, sumberdaya alam dan lingkungan di
mana ketiga hal ini dimasukkan di dalam suatu sistem bersama. Dalam hani ini
lingkungan hidup dipandang sebagai aset utama di dalam proses ekonomi.
Lingkungan menyediakan sistem pendukung kehidupan untuk mempertahankan
keberadaan umat manusia. Usaa untuk mengatasi proses depresiasi dari aset
lingkungan bukan hanya untuk kepentingan konservasi dan pelestarian lingkungan
tetapi untuk kepentingan aktivitas ekonomi jangka panjang untuk memenuhi
kebutuhan manusia baik dari generasi sekarang maupun yang akan datang (inter generation).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar