. . . . .

Minggu, 03 Juni 2012

LINGKUNGAN HIDUP : PANDANGAN TEOSENTRIS / KETUHANAN




Bila melihat dari awal muncul dan perkembangannya maka pandangan ini bisa dibilang merupakan salah satu yang paling tua dan masih berlaku sampai saat ini. Hal ini dikarenakan kuatnya system doctrin suatu agama dalam kebudayaan manusia dimana suatu hukum Tuhan merupakan hukum tertinggi yang ada di dunia. Pandangan ini melihat alam semesta sebagai ciptaan dari kekuasaan yang lebih besar dan gaib yaitu Tuhan dan merupakan suatu kesatuan dari pengabdian seorang manusia sebagai salah satu ciptaannya untuk menjaga dan melestarikan alam. Secara empiris hal ini memang terlihat tidak logis dimana manusia memperhatikan suatu alam yang bersifat material dihubungkan dengan sesuatu yang bersifat immaterial yaitu Tuhan, namun adanya alam ini merupakan bukti nyata bagi penganut umat beragama bahwa adanya kekuatan besar itu memang ada. Islam sebagai salah satu agama yang ada di dunia dan merupakan agama terbesar dan paling cepat perkembangannya juga mengatur akan posisi manusia dengan alam. Dalam Al-Qur’an telah dikatakan bagaimana Tuhan telah menciptakan manusia dengan tugas dan tanggungjawabnya selama ada di dunia
.
Dalam salah satu ayat Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat  30. Dikatakan, 



“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Melihat pada ayat ini sudah dapat kita tarik kesimpulan bahwa the tragedy of the commons dapat terjadi dikarenakan karena memang sudah sifat manusia untuk membuat kerusakan di dunia ini. Namun mengenai kemungkinan dan untuk mencegah terjadinya hal itu maka di Al-Qur’an sebagai sabda Allah SWT telah memberi peringatan jelas mengenai hal itu sebagai salah satu contoh,

            Surat Al Baqarah ayat 205 menerangkan, 

           “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”

Dan juga pada ayat lain, Surat Al Muluk ayat 30 menerangkan 

      “Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?."

Melihat pada hal ini maka dapat kita lihat bagaimana pandangan seseorang atau suatu golongan mengenai keyakinannya pada Tuhan dapat menjadi salah satu alasan yang kuat untuk melestarikan alam dan dasar dalam menggunakan sumber daya milik bersama. Melalui peringatan yang ada dalam agama itu mengajarkan pada kita mengenai konsekuensi dalam menggunakan sumber daya alam secara tidak terkontrol dapat berakibat secara nyata maupun secara agama. Melihat pada hal ini maka para ahli dan filsuf didunia melihat hal ini sebagai salah satu hal yang penting untuk dikaji.

“Modal budaya juga termasuk bagaimana manusia memandang alam semesta, nilai-nilai, etika-etika termasuk agama dan kebudayaan mentransmisikan pengetahuan tentang lingkungan atau pengetahuan lokal atau lazim disebut indigenous knowledge” (Gadgil et.all. 1993). Adapun yang menjadi komponen utama modal budaya adalah modal institusi (institutional capital) dan modal sosial (social capital).

“Jika modal institusi (institutional capital) mengacu pada seluruh lembaga-lembaga sosial, baik yang tradisional maupun hasil evolusi, yang terdapat dalam “human societies” seperti adat, suku, keluarga, kaum dan sejenisnya. Maka, modal social (social capital) diartikan sebagai asfek-asfek dari struktur hubungan-hubungan antara individu-individu, dalam human societies, yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai baru (Coleman, 1994)

Secara perlahan hal mengenai kebudayaan beragama ini telah berkembang secara evolusioner menjadi suatu norma yang berlaku sebagai akumulasi dari temuan-temuan pengalaman masyarakat adat dan agama selama ratusan tahun. Karenanya, hal ini pun bersifat multi-dimensional dan terintegrasi dalam sistem religi, struktur sosial, hukum dan pranata atau institusi masyarakat adat yang bersangkutan. Bagaimana pun, komunitas-komunitas masyarakat adat dan agama ini telah bisa membuktikan diri mampu bertahan hidup dengan sistem-sistem lokal yang ada di daerah tempatnya tinggal. 

Komunitas-komunitas lokal di pedesaan yang tidak lagi mendefenisikan dan menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, juga secara berkelanjutan menerapkan kearifan (pengetahuan dan tata cara) tradisional ini dalam kehidupannya, termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya dan keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhannya seperti pengobatan, penyediaan pangan, dan sebagainya. Masa depan keberlanjutan kehidupan kita sebagai bangsa, termasuk kekayaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, berada di tangan masyarakat yang berdaulat memelihara kearifan local dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sebagai komunitas dan sekaligus menyangga fungsi layanan ekologis alam untuk kebutuhan mahluk lainnya secara lebih luas. Keberpihakan terhadap kearifan tradisional dengan segala pranata sosial yang mendukungnya merupakan modal awal yang utama bagi pengabdian kita terhadap keberlanjutan kehidupan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar