Bila melihat
dari awal muncul dan perkembangannya maka pandangan ini bisa dibilang merupakan
salah satu yang paling tua dan masih berlaku sampai saat ini. Hal ini
dikarenakan kuatnya system doctrin suatu agama dalam kebudayaan manusia dimana
suatu hukum Tuhan merupakan hukum tertinggi yang ada di dunia. Pandangan ini
melihat alam semesta sebagai ciptaan dari kekuasaan yang lebih besar dan gaib
yaitu Tuhan dan merupakan suatu kesatuan dari pengabdian seorang manusia
sebagai salah satu ciptaannya untuk menjaga dan melestarikan alam. Secara
empiris hal ini memang terlihat tidak logis dimana manusia memperhatikan suatu
alam yang bersifat material dihubungkan dengan sesuatu yang bersifat immaterial
yaitu Tuhan, namun adanya alam ini merupakan bukti nyata bagi penganut umat
beragama bahwa adanya kekuatan besar itu memang ada. Islam sebagai salah satu
agama yang ada di dunia dan merupakan agama terbesar dan paling cepat
perkembangannya juga mengatur akan posisi manusia dengan alam. Dalam Al-Qur’an
telah dikatakan bagaimana Tuhan telah menciptakan manusia dengan tugas dan
tanggungjawabnya selama ada di dunia
.
Dalam salah
satu ayat Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 30. Dikatakan,
“Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para Malaikat : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata : "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Melihat pada ayat ini sudah
dapat kita tarik kesimpulan bahwa the
tragedy of the commons dapat terjadi dikarenakan karena memang sudah sifat
manusia untuk membuat kerusakan di dunia ini. Namun mengenai kemungkinan dan
untuk mencegah terjadinya hal itu maka di Al-Qur’an sebagai sabda Allah SWT
telah memberi peringatan jelas mengenai hal itu sebagai salah satu contoh,
Surat Al Baqarah ayat 205 menerangkan,
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan
kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah
tidak menyukai kebinasaan.”
Dan juga pada ayat lain, Surat Al Muluk ayat 30
menerangkan
“Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu
menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir
bagimu?."
Melihat pada
hal ini maka dapat kita lihat bagaimana pandangan seseorang atau suatu golongan
mengenai keyakinannya pada Tuhan dapat menjadi salah satu alasan yang kuat
untuk melestarikan alam dan dasar dalam menggunakan sumber daya milik bersama.
Melalui peringatan yang ada dalam agama itu mengajarkan pada kita mengenai
konsekuensi dalam menggunakan sumber daya alam secara tidak terkontrol dapat berakibat
secara nyata maupun secara agama. Melihat pada hal ini maka para ahli dan
filsuf didunia melihat hal ini sebagai salah satu hal yang penting untuk
dikaji.
“Modal budaya juga termasuk bagaimana
manusia memandang alam semesta, nilai-nilai, etika-etika termasuk agama dan
kebudayaan mentransmisikan pengetahuan tentang lingkungan atau pengetahuan
lokal atau lazim disebut indigenous knowledge” (Gadgil et.all. 1993). Adapun
yang menjadi komponen utama modal budaya adalah modal institusi (institutional
capital) dan modal sosial (social capital).
“Jika modal institusi (institutional capital) mengacu
pada seluruh lembaga-lembaga sosial, baik yang tradisional maupun hasil
evolusi, yang terdapat dalam “human societies” seperti adat, suku,
keluarga, kaum dan sejenisnya. Maka, modal social (social capital) diartikan sebagai
asfek-asfek dari struktur hubungan-hubungan antara individu-individu, dalam human
societies, yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai baru (Coleman,
1994)
Secara
perlahan hal mengenai kebudayaan beragama ini telah berkembang secara
evolusioner menjadi suatu norma yang berlaku sebagai akumulasi dari temuan-temuan
pengalaman masyarakat adat dan agama selama ratusan tahun. Karenanya, hal ini
pun bersifat multi-dimensional dan terintegrasi dalam sistem religi, struktur
sosial, hukum dan pranata atau institusi masyarakat adat yang bersangkutan.
Bagaimana pun, komunitas-komunitas masyarakat adat dan agama ini telah bisa
membuktikan diri mampu bertahan hidup dengan sistem-sistem lokal yang ada di daerah
tempatnya tinggal.
Komunitas-komunitas lokal di pedesaan yang tidak lagi
mendefenisikan dan menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, juga secara
berkelanjutan menerapkan kearifan (pengetahuan dan tata cara) tradisional ini
dalam kehidupannya, termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya dan keanekaragaman
hayati untuk memenuhi kebutuhannya seperti pengobatan, penyediaan pangan, dan
sebagainya. Masa depan keberlanjutan kehidupan kita sebagai bangsa, termasuk
kekayaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, berada di
tangan masyarakat yang berdaulat memelihara kearifan local dan praktek-praktek
pengelolaan sumberdaya alam yang sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan
keselamatan mereka sebagai komunitas dan sekaligus menyangga fungsi layanan
ekologis alam untuk kebutuhan mahluk lainnya secara lebih luas. Keberpihakan
terhadap kearifan tradisional dengan segala pranata sosial yang mendukungnya
merupakan modal awal yang utama bagi pengabdian kita terhadap keberlanjutan
kehidupan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar