. . . . .

Rabu, 30 Mei 2012

Liberalisme Dan Patriakarlisme


            
            Benn dan Gaus’s memperhitungkan konsep liberalism mengenai publik dan private telah menilustrasikan dengan baik beberapa masalah pokok dalam teori liberal. Mereka menerima bahwa private dan publik adalah kategori pokok dalam dari liberalism, tetapi mereka tidak menjelaskan kenapa dua istilah ini rumit atau mengapa lapisan ‘private’ kontras dan berlawanan terhadap ‘publik’ daripada terhadap ‘dunia politik’. Penilaian liberalism oleh Benn dan Gaus juga mengilustrasikan keabstraknya, karaktek secara historis dan, apa yang dibenarkan dan dihilangkan, menyediakan contoh yang bagus dari diskusi secara teori yang dikritik secara tajam oleh para feminis.
           
Istilah ‘ideologi’ sesuai untuk digunakan disini karena adanya ambigu dalam konsep liberal mengenai privte dan publik yang kabur dan menajubkan membantu untuk mendasari hal tersebut. Para feminis berargumen bahwa liberalism tersusun oleh patriarkal seperti halnya hubungan kelas, dan bahwa itu dikotomi antara private dengan publik yang mengaburkan subjektivitas antara perempuan dengan laki-laki di dalam sesuatu yang universal, paham persamaan, dan kepentingan pribadi. Benn dan Gaus menasumsikan bahwa realita kehidupan sosial kita adalah lebih atau kurang cukup menangkap konsep liberalsm. Mereka tidak mengenali bahwa liberalism adalah liberalism patriakal dan itu adalah pemisahan dan pembedaan antara perempuan dengan laki-laki, mereka hanya mengamsumsikan sebagai individualism dalam konsep liberal.

Salah satu alasan mengapa hasil ini tidak di perhatikan adalah bahwa pemisahan antara private dan publik telah ada dalam teori liberal seperti jika ini diterapkan pada semua individu dengan jalan yang sama. Ini sering di klaim - oleh para anti-feminis masa kini, tetapi oleh para ferminis abab 19, kebanyakan menerima doktrin ‘lapisan pemisah’- bahwa dua lapisan tersebut adalah terpisah, tetapi sama-sama penting dan berharga. Cara dimana perempuan dan laki-laki dibedakan terletak pada kehidupan individu dan dunia publik.

Kritik Feminis Tentang Dikotomi Publik dan Private




Dikotomi antara private dengan publik telah menjadi pusat bagi penulis seputar feminist dan perdebatan politik selama hampir 2 abad, hal ini akhirnya menjadi apa gerakan feminist itu. Kritik dari para pejuang feminist lebih ditujukan kepada pembedaan dan berlawanan antara lapisan publik dengan private (pribadi) dalam teori dan praktik liberal. Hubungan antara feminism dengan liberalism sengatlah dekat tapi juga sangat kompleks. Antara liberalism dengan feminism mempunyai dasar yang sama, keduanya berdasarkan pada konsep kebebasan individu dan sama rata. Tetapi walaupun liberalism dan feminism mempunyai dasar yang sama, tetapi para penganut aliran tersebut telah saling bertentangan selama kurang lebih 200 tahun. Tujuan dan pandangan kritik dari para feminism tentang konsep para liberalism mengenai konsep publik dan private telah menjadi pembeda besar dalam gerakan feminism.
           
Feminism lebih sering dilihat tidak lebih hanya merupakan hasil dari revolusi liberal dan revolusi borjuis, eksistensi dari prinsip-prinsip liberal dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Tuntutan tentang persamaan hak yang sama, tentu saja, selalu menjadi bagian yang terpenting dari paham feminism. Bagaimanapun, usaha untuk menuviversalkan liberalism mempunyai konsekuensi dengan jangkauan yang lebih luas dari yang dinilai semula karena, pada akhirnya, hal ini merupakan tantangan yang tidak terelakan dari liberalism itu sendiri. Feminism liberal mempunyai implikasi radikal, yang tidak sedikit menantang pemisahan dan berlawanan antara lapisan publik dan private yang sangat pokok dalam praktik dan teori liberal. Dalam liberal, kontras antara private dan publik tidak hanya perbedaan antara dua jenis aktivitas sosial.
           
Bagaimanapun, tidak semua penganut paham feminism adalah seorang liberalism, ‘feminism’ di klaim lebih dari pada liberalis-feminis. Beberapa penganut feminism yang lain, secara tegas menolak konsep-konsep liberal mengenai privat dan publik dan melihat struktur sosial liberal sebagai masalah politik, tidak sebagai titik awal darimana hak yang sama dapat di klaim. Meraka mempunyai banyak kesamaan dengan kritik radikal dan sosialis pada para liberal yang bergantung pada teori ‘organic’ tetapi mereka membedakan secara tajam analisis mereka tentang status liberal. Singkatnya, feminism, tidak seperti radikal yang lain, memunculkan yang biasanya melalaikan permasalahan dalam karakter liberalisme yang patriarchal.

Perdagangan Bebas di Indonesia: Kasus Industri Otomotif Timor



            Pada pertengahan Juli tahun 1996, negara-negara yang tergabung dalam Kerjasama Ekonomi Negara-negara di kawasan Asia-Pasifik (APEC) membuat pernyataan bersama di Christurch, Selandia Baru, bahwa mereka menegaskan komitmennya untuk merealisasi perdagangan bebas dan menerapkan liberalisasi. Pernyataan ini bertujuan untuk menekan komunitas ekonomi Eropa agar menghilangkan hambatan perdaganganya terhadap negara-negara peserta APEC. Agar tercapai liberalisasi perdagangan global dalam rangka meciptakan kesejahteraan masyarakat dunia.

Namun, kalau diamati secara seksama ada dua target yang ingin dicapai APEC. Pertama, mereka ingin mendorong terciptanya perdagangan bebas dunia yang ditanda tangani oleh para anggota pada tahun 1994. Kedua, mereka ingin menghilangkan hambatan-hambatan dalam perdagangan, pada tahun 2010 untuk negara-negara maju dan pada tahun 2010 untuk negara-negara sedang berkembang. Kebijakan yang diterapkan oleh APEC ini semakin menunjukan bahwa ekspansi pasar merupakan gejala yang sedang mengglobal saat ini yang ditandai dengan internasionalisasi capital, pembukaan pasar secara lebar-lebar di setiap Negara dam penerapan perdagangan bebas. Proses homogenisasi ekonomi dunia sedang terjadi sehingga nampak seolah-olah merupakan isu ekonomi murni sehingga tidak dikaitkan dengan non-ekonomi.


Salah satu kasus menarik yang membuktikan bahwa gejala ekonomi murni sebetulnya merupakan bentuk kemustahilan adalah gegap gempitanya persaingan industry otomotif di tanah air di era 1990-an, terutama dengan masuknya pendatang-pendatang baru membawa hak monopoli. Pada tahun 1996 pemerintah mengeluarkan INPRES 2/1996 dan KEPRES 42/1996 yang isinya memberikan hak kepada PT Timor Putra Nusantara untuk mengembangkan Mobil Nasional (Mobnas), yaitu mobil dengan tekhnologi nasional dalam kurun waktu 3 tahun. PT Timor harus memenuhi kandungan local sebesar 60%, dalam rangka menciptakan transfer tekhnologi. Bekerja sama dengan perusahaan mobil Kore Selatan, yaitu KIA, PT Timor memiliki hak mengimpor komponen dengan bea masuk 0%, sehingga harga mobil dapat ditekan menjadi murah, hanya sekitar Rp.35,75 juta pada saat itu, padahal mobil Jepang rata-rata sekelas itu adalah Rp.65 juta. Dampak dari pelepasan mobil Timor adalah terjadinya goncangan pasar nasional, baik mobil baru maupun bekas. Terjadi perang harga mobil sekelas Timor dari merek-merek lain, selain itu muncul proyek-proyek mobil nasional lain dari beberapa perusahaan produsen mobil seperti PT Bimantara, Pt Indomobil, Bakrie, BPIS walaupun tidak memiliki fasilitas istemewa dari pemerintah seperti PT Timor.


            Ada dua hal penting yang perlu dikedepankan berkaitan dengan fasilitas bebas bea yang dimilike oleh mobil Timor. Pertama, fasilitas bebas bea yang anya diterapkan kepada PT Timor Putra Nusantara mengesankan adanya monopoli, sebab fasilitas ang sama tidak diberikan kepada industriawan yang lain. Kedua, upaya untuk melakukan transfer tekhnologi yang dilakukan oleh Timor terbatas sekali, sebab mobil-mobil yang akan dijual tersebut masih diimpor dan dirancang secara penuh oleh pabriknya di Korea Selatan, dan PT Timor belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk merakitnya sendiri. Agenda lebih lanjuta adalah adanya pengistimewaan mengapa PT Timor yang mendapat hak untuk bebas bea masuk dan transfer tekhnologi cepat jatuh kepada perusahaan tersebut bukan yang lain. Hal ini menunjukan adanya campur tangan politik mengenai perumusan kebijakan tersebut sehingga tidak murni ekonomi. Melihat pada contoh kasus ini maka dapat dikatakan bahwa dalam perkembangan dan proses ekonomi sendiri pun tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek non-ekonomi, masuknya pengaruh politk dan penguasa membuat ekonomi menjadi sebuah lahan perebutan para orang-orang tertentu dengan kepentingannya masing-masing. 

PERDAGANGAN BEBAS DAN LIBERALISASI POLITIK DI INDONESIA


              Globalisasi adalah merupakan sebuah konsep yang menjadi wacana sentral dalam disiplin ilmu-ilmu social saat ini, adalah proses kepercayaan yang ditandai dengan adanya kecenderungan wilayah-wilayah di dunia, baik secara geografis maupun fisik, menjadi seragam dalam format social, budaya, ekonomi, dan politik. Dikarenakan semakin kaburnya batas-batas dan perbedaan antar negara di dunia, maka ini dalam kehidupan social proses global telah menciptakan egalitarianism, di bidang budaya memicu munculnya “internationalizations of culture”, di bidang ekonomi menciptakan saling ketergantungan dalam proses produksi dan pemasaran, dan di bidang politik menciptakan “liberalisasi”. Globalisasi sudah terjadi sejak berabad-abad lalu, dan masih terjadi sampai sekarang proses global tersebut, dan memiliki kecepatan, kekuatan dan cakupan yang luar biasa. Globalisasi sendiri buakanlah sebuah proses yang singkat, namun merupakan proses yang lounge durre yaitu proses yang lama dan bertahap.


        Salah satu bukti nyata dan dapat diketahui secara langsung terlihat dalam era global adalah meningkatnya integritas ekonomi antar negara-negara di dunia, baik antara negara berkembang, Negara maju, dan keduanya. Globalisasi diwarnai dengan ekspansi pasar, yang dalam bentuk kongkret berupa penyelenggaraan pasar-pasar bersama regional. Proses perluasan pasar di seluruh penjuru dunia tersebut merupakan sebuah rekayasa social dengan skala luas, yang belum pernah terbayangkan sebelumnya, dengan menggunakan berbagai instrument seperti ilmu pengetahuan, teknologi, institusi social, politik dan kebudayaan.

            Banyak Negara di Eropa Timur yang merubah kebijakan ekonominya dari sosialis ke orientasi pasar. Hal ini membuktikan bahwa integritas pasar melalui perdagangan bebas cenderung memiliki berbagai dampak konsekuensi social politik. Wallerstein secara jitu telah mendemonstrasikan bagaiman ekspansi pasar dan keberhasilan Modern World System merupakan sebuah potret dari globalisasi. Tetapi berbagai bentuk integrasi pasar regional yang oleh Wallerstein di klasifikasikan dalam wilayah pusat, semi pinggiran, dan pinggiran akan memiliki variasi karakteristik dalam konteks perkembangan ekonomi global. Spesifikasi social politik yang muncul di Indonesia ketika perdagangan bebas melanda dunia relevan untuk dikedepankan.
            Pembahasan ini lebih kepada hubungan antara perdagangan bebas dan liberalisasi politik di Indonesia. Hubungan tersebut didasarkan pada argument bahwa ada keyakinan teoritik, bahwa perdagangan bebas, baik secara lambat maupun cepat, akan membawa dampak pada liberalisasi politik.

Perdagangan Bebas dan Liberalisasi Publik
           
Bila kita melihat pada teori-teori ekonomi yang bersifat mainstream maka seakan-akan hanya ada dua sistem ekonomi di dunia ini, yaitu sistem ekonomi yang didominasi oleh kekuatan pasar versus negara. Pandangan ekonomi tersebut lebih membatasi diri pada masalah ekonomi an sich daripada mengaitkan dengan berbagai persoalan sosial, budaya, dan politik. Sehingga untuk memahami perbedaan system pemerintahan antarnegara-negara cenderung direduksi dalam pandangan ekonosentrik. Lindblom, mengakui adanya keterbatasan dalam analisis ekonomi, khususnya neo-klasik. Cara pandang neo-klasik tidak realistik dan hanya ada dalam model pikir, sehingga bila diterapkan akan mencabut kenyataan ekonomi dari realitas sosial, sedang kenyataannya adalah ekonomi dan sosial-budaya saling jalin-menjalin.

            Menurut pendapat beberapa pengamat sosial-ekonomi memiliki keyakinan bahwa ekonomi pasar memiliki kemampuan dalam menciptakan demokrasi politik, sehingga ekonomi pasar merupakan prasyarat dalam mewujudkan demokrasi politik. Pertumbuhan perdagangan dan integrasi pasar akan menimbulkan tekanan-tekanan pada negara untuk menyelenggarakan system politik yang plural, sehingga akan membawa perkembangan arus informasi, gagasan, dan pandangan. Dalam system social-ekonomi seperti itu, mekanisme pasar diandaikan sebagai parlemen. Semua pelaku ekonomi bersifat voluntir dan tidak ada tekanan politis sehingga kepentingan-kepentingan yang berbeda dapat mencapai keserasian lewat terwujudnya setting price.

Salah satu pandangan yang anti determinan ekonomi pasar menyatakan bawa justru dengan dominannya pasar maka masyarakat terancam disintregasi. Oleh karena itu dibutuhkan kewenangan politik, alam hal ini peran negara yang kuat, untuk memantau, mengatur dan mengontrol mekanisme pasar sehingga arus barang dan kepentigan dapat menciptakan kesejateraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam mengatur dan menjaga pasar agar tetap stabil dan tidak terlalu mengancam keberlangsungan industri masyarakat dan kalangan modal rendah. Perdaganan bebas akan mengakibatkan kenaikan import barang dari negara lain yang lebih murah dan berkualitas daripada di dalam negeri. Selain dari pada itu pemerintah yang kuat  juga merupakan salah satu syarat pentng dalam terciptana pasar bebas, keadaan politik dan keamanan yang kondusif merupakan penjamin bagi pada investor untuk mau menanamkan modalnya serta menjamin pertumbuhan industri di negara itu. Memahami persoalan pluralitas politik dengan hanya mempertimbangkan dua aspek yaitu variabel negara dan dan pasar menyebabkan pendekatan itu kurang memiliki sofistikasi ilmiah dan mereduksi kompleksitas realitas dalam cara pandang yang terlalu sederhana.

Pandangan lain menegaskan bahwa untuk mewujudkan pluralistas politik dan demokrasi sosial bukan negara atau ekonomi pasar yang menjadi prasyaratnya tetapi kelas menengah yang harus tampil ke depan. Kelas menengah ini merupakan para kumpulan orang-orang yang kritis dan resah akan suatu keadaan yang sedang berlangsung, bila suara ini dapat ditampung dan ditindaklanjuti dalam parlemen dan dilaksanakan oleh pemerintah maka akan berdampak besar. Dampak positif dari keberadaan kelas menengah adalah terciptanya tensi politk dalam masyarakat dan ini merupakan kekuatan kontrol agar negar tidak berbuat semena-mena dan pasar tidak semata-mata memberikan keuntungan ekonom-politik kepada kaum pemilik alat-alat produksi. Melalui pengamatan empiris diadapatkan hasil pada beberapa negara termasuk Indonesia, didapatkan hasil bahwa konsep ini terancam gagal atau malah gagal sama sekali. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan dan pemanfaatan dari golongan menengah ini sendiri, kita sering melihat suatu golongan dan mendefinisikan golongan itu dari segi tingkatan ekonomid dan sosialnya, bukan dari peranan dan kekuatan politiknya.

Kegagalan pendekatan diatas memunculkan pemikiran dari para kelompok-kelompok tertentu yang meliat dan mempelajari dari konsep Marx dan status / otoritas sosial Weber sehingga relevan untuk memahami realitas ekonomi politik di Asia Tenggara, pendekatan ini dinamakan “pendekatan kelompok strategis”. Pendekatan ini melihat pada realita bahwa dinamika yang terjadi di kalangan kelompok tertentu entah itu menengah ataupun bawah tidak banyak berpengaruh karena perjuangan kelas tidak pernah terjadi karena konflik yang terjadi lebih sering bahkan selalu di tingkat elit. Merekalah kaum elit itu yang disebut sebagai sebagai kaum strategis yang siap megambil alih seua sumer daya ekonomi dan kekuasaan di saat terjadi goncangan politik. Dengan demikian maka liberalisasi politik akan tercapai bukan dari peranan pasar, negara, atau kelas menengah tetapi semua tergantung dari permainan politik dari kelompok-kelompok strategis tersebut. Dialektika dari keempat pemikiran diatas merupaka refleksi dari rumitnya jalinan masalah-masalah ekonomi dengan masalah politik.   

FILSAFAT : Menurut Beberapa Ahli


Filsafat, filosofi, filsuf, tentu adalah kata-kata yang saat ini sudah sering kita dengar baik di kehidupan sehari-hari maupun di pendidikan yang kita dapatkan. Sampai saat ini pun tentu masih banyak yang belum memahami secara penuh apa yang dimaksud dengan filsafat itu , dengan tulisan singkat ini semoga dapat bermanfaat .

Pengertian filsafat menurut para ahli

Plato (427SM - 347SM) 
Seorang filsuf Yunani yang termasyhur murid Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan: Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).


Aristoteles (384 SM - 322SM)
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).

Marcus Tullius Cicero (106 SM - 43SM) 
Politikus dan ahli pidato Romawi, merumuskan: Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya. Filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “ ( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan ).

Al-Farabi (meninggal 950M)
Filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.


Immanuel Kant (1724 -1804)
Yang sering disebut raksasa pikir Barat, mengatakan : Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:

- Apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)
- Apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika)
- Sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh agama)
- Apa itu manusia ( dijawab oleh Antropologi )

Johann Gotlich Fickte (1762-1814 )
Filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu , yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.

Paul Nartorp (1854 – 1924 )
Filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya .

Prof. Dr. Fuad Hasan, guru besar psikologi UI
Filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.

Drs H. Hasbullah Bakry 
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.

Pengertian filsafat menurut Notonegoro
Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah , yang disebut hakekat.

Pengertian filsafat menurut Driyakarya
Filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebabnya ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang penghabisan “.

Pengertian filsafat menurut Sidi Gazalba
Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran , tentang segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal.

Francis Bacon
Filsafat merupakan induknya dari ilmu-ilmu, dan filsafat mempunyai semua pengetahuan sebagai bidangnya. 

Stephen R. Toulmin
Filsafat adalah Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika

Pengertian filsafat menurut Harold H. Titus (1979 )
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi;


Selasa, 15 Mei 2012

SEJARAH BADAN PENYELENGGARA PEMILU

Berhubung mau menjelang pemilu dan pilkada , sedikit info buat semua .

BADAN PENYELENGGARA PEMILU



Indonesia pertama kali membentuk sebuah lembaga yang bertugas menyelenggarakan Pemilihan umum pada tahun 1946. Pemilu yang pertama kali sedianya diadakan untuk mengisi keanggotaan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sebuah badan perwakilan rakyat yang pertama kali dimiliki Indonesia sejak kemerdekaannya. KNIP semula dibentuk atas dasar maklumat. Pemilihan wakil-wakil rakyat yang akan mengisi lembaga itu melalui  maklumat, dalam maklumat tersebut pemerintah menyatakan rencananya untuk menyelenggarakan Pemilu. Pada maklumat berikutnya, yaitu disebutkan bahwa pemilihan anggota-anggota badan perwakilaan tersebut akan dilangsungkan pada Januari 1946, ternyata rencana tersebut tidak terlaksana, dengan persetujuan Badan Pekerja (BP) KNIP mensahkan RUU tentang Pembaharuan Susunan Komite Nasional Indonesia Pusat menjadi UU, didalamnya memuat tentang Pembaharuan Susunan Komite Nasional Indonesia Pusat, dalam UU No. 12/1946 ini disebutkan bahwa badan penyelenggara pemilihan dari pusat sampai daerah akan dibentuk. Badan ini bertugas menyelenggarakan pemilihan untuk memilih 110 orang anggota KNIP, untuk di pusat namanya Badan Pembaharuan Susunan Komite Nasional Pusat (BPS), sedangkan didaerah dinamakan cabang Pembaharuan Susunan Komite Nasional Pusat. 

BPS dibentuk oleh Presiden, berkedudukan di Yogyakarta dengan tugas pokok melakukan pembaharuan keanggotaan KNIP, anggota BPS ada 10 orang yang merupakan wakil dari partai politik dan wakil dari daerah. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Pada tahun 1948 BPS serta semua organ ikutannya yang berada di pusat maupun di daerah dibubarkan, melalui Penetapan Presiden No. 28/1948. Pembubaran tersebut merupakan konsekuensi dari tidak digunakannya lagi UU No. 12 tahun 1946 tentang Pembaharuan Susunan KNIP.

Sejak Undang-undang  No. 12 tahun 1946 tidak berlaku dan diganti oleh UU No.27 tahun 1948 maka BPS diganti dengan KPP (Kantor Pemilihan Pusat). Jumlah anggota KPP ditetapkan sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota dan 3 (tiga) orang wakil anggota, dua diantara mereka merangkap menjadi anggota. Tugas KPP adalah memimpin pemilihan pemilih dan memilih anggota DPR. Seperti yang dialami badan penyelenggara pemilu bentukan 1946, KPP dan organ-organ dibawahnya juga dibubarkan sebelum sempat melaksanakan tugasnya menyelenggarakan pemilu. Soalnya, setelah RIS kembali menjadi Negara kesatuan RI dengan berlakunya UUD sementara 1950, system ketatanegaraan juga berubah, tak terkecuali tata cara untuk memilih anggota lembaga wakil rakyat.
         Pada tanggal 3 desember 1953 KPP melakukan serah terima kepada PPI, Keppres No. 188  tahun 1953 yang menetapkan susunan keanggotaan PPI yang baru, anggota PPI sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota dan sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) dua diantaranya merangkap ketua dan wakil ketua, mereka diangkat dan diberhentikan oleh Presiden untuk masa kerja empat tahun. PPI dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh PP yang kedudukannya di tingkat Provinsi yang mengemban tugas persiapan dan penyelenggaraan Pemilu untuk anggota Konsituante dan DPR.

Pada tahun 1959 PPI dan PP berhenti menjalankan tugasnya tetapi kesekretariatan PPI masih berjalan dan PPI tidak sepenuhnya dibubarkan, hanya saja pemerintah tidak mengangkat anggotanya lagi, hal ini merupakan konsekuensi dari keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli tahun1959, Dekrit tersebut menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 dengan sendirinya UUDS 1950 tidak berlaku lagi.

Berdasarkan pemaparan diatas dapat dilihat bahwa kerap terjadinya pergantian untuk 1 (satu) lembaga, dimana lembaga tersebut mempunyai tugas yang sama, yaitu: sebagai lembaga yang bertugas menyelenggarakan pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan sarana demokrasi untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Aktualisasi dari kedaulatan rakyat dalam menyalurkan aspirasinya melalui partai politik adalah implementasi dari perwujudan demokratisasi di negeri ini, sebagai salah satu pencerminan hak warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat, melalui partai politik rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam bermasyarakat dan bernegara.